Bagi para pengguna sosial media rasanya tidak asing dengan ‘cancel culture’ atau dapat dikatakan dengan pemboikotan secara massal. Fenomena cancel culture sepertinya semakin kesini semakin sering ditemukan di sosial media, khususnya sosial media yang cukup populer di masyarakat seperti Twitter, Instagram, Youtube dan lainnya.
Fenomena ini rupanya tidak hanya dilakukan oleh para publik figur saja melainkan oleh para brand, tayangan dan bahkan film yang dirasa memberikan kerugian dan melakukan hal yang sudah kelewat batas.
Apa itu cancel culture?
Dalam mengetahui apa itu cancel culture secara umum, terdapat banyak perdebatan tentang apa artinya. Tidak sedikit masyarakat yang menganggap apakah cancel culture merupakan salah satu cara untuk meminta pertanggung jawaban seseorang, taktik dalam menghukum orang lain secara tidak adil atau campuran keduanya. Namun tidak sedikit juga yg menganggap cancel culture itu tidak ada. Cancel culture ini terdapat dalam konsep Habermas yang membahas tentang ruang publik dan menganggap sebagai wacana publik adalah ranah elit (1967) dalam jurnal communication and the public.
Pada dasarnya cancel culture berasal dari banyak bentuk wacana publik baik secara online dan offline di ruang publik. Ditelusuri lebih dalam cancel culture mengacu pada penolakan individu ataupun kelompok melalui pengaduan online yang mengakibatkan adanya salah satu pihak yang merasa dikucilkan dan dipermalukan oleh orang banyak.
Cancel culture merupakan sebuah ekspresi hak pilihan, dalam hal ini adalah pilihan untuk menarik perhatian dari seseorang atau sesuatu tindakan dan juga ucapan ofensif.
Lalu yang terjadi saat ini seperti apa ?
Sosial media saat ini memiliki fungsi ganda, tidak lagi hanya sebatas hiburan dan menjadi lahan dalam meraup keuntungan. Melainkan sebagai salah satu wadah yang digunakan masyarakat untuk menghukum seseorang. Yang banyak terjadi di media sosial saat ini, jika seseorang terjebak dalam sebuah perdebatan dalam dunia maya dan ditemukan opini yang tidak pantas atau tidak sesuai dengan pendapat banyak orang, serangan tak lagi dikembalikan berupa jawaban yang terkait melainkan justru berbalik menyerang personal si pembuat opini tanpa memperdulikan gagasan ataupun opini yang diajukan hal ini biasa disebut dengan ad hominem. Masyarakat atau yang biasa disebut Netizen ini tidak melulu orang dewasa melainkan anak-anak usia remaja juga ikut mengomentari dan menyerang pihak tersebut. selebritas merupakan subyek yang terbilang sangat rentan terhadap isu seperti ini dan paling sering mendapatkan komentar-komentar tidak layak dari para netizen.
Persepsi tentang fenomena cancel culture
Budaya canceling seperti ini dapat dikatakan sebagai budaya yang memiliki nilai negatif oleh seluruh kalangan publik figur maupun masyarakat. Hal ini dinilai sebagai upaya online shaming yang dapat dikatakan destruktif dan cenderung tidak melihat dari perspektif yang sangat besar. Pasalnya cancel culture dinilai memiliki intensi untuk ‘menggembalakan’ publik untuk hanya melihat sebuah permasalahan dalam perspektif negatif. Selain itu cancel culture juga melibatkan upaya bersama untuk mencari dukungan pihak-pihak terkait dalam memberikan komentar-komentar sehingga pihak tersebut meminta maaf atau menghilangkan pandangan tersebut. jika memang harus menjadi ‘hakim’, setidaknya kita harus menjadi ‘hakim yang bisa menilai berdasarkan keadilan, bukan menjadi ‘hakim’ yang hanya ingin memuaskan ego dengan menjatuhkan nama baik seseorang dengan tujuan menaikkan diri sendiri yang menjadi pribadi yang jauh lebih baik dari korban.
Cance culture ya atau tidak ? semuanya kembali ke diri kita masing-masing untuk jauh lebih bijak dalam menggunakan media sosial.
